Kamis, 17 April 2008

Menakar Kebutuhan AHA/DHA

Menakar Kebutuhan AHA/DHA

Susu formula dengan DHA dan AHA belum tentu berefek maksimal untuk
pertumbuhan otak.

Istilah DHA (Docosahexaenoic acid) dan ARA (arachinoid acid) memang
tak asing di telinga para ibu. Dalam iklan di televisi, terlihat sejumlah
perusahaan susu berlomba-lomba menawarkan produk yang mengandung DHA
dan ARA. Biasanya, susu jenis ini harganya lebih mahal dibanding susu
formula tanpa asam lemak esensial itu.

Si ibu yang langsung kepincut dua komponen tersebut dan berkantong
tebal langsung berburu produk itu. Padahal, menurut Dr Hardiono D.
Pusponegoro, SpA (K), meskipun banyak susu formula mengklaim mengandung DHA dan
ARA, belum tentu semuanya akan memberi dampak yang baik dan maksimal untuk
pertumbuhan otak anak.

"Hampir semua produsen susu formula memasukkan berbagai benda dalam
produknya, tapi jumlahnya sedikit-sedikit. Padahal, bila perbandingan
DHA dan ARA dalam susu formula tak tepat, hasilnya tak akan baik bagi
anak. Kecerdasannya tak akan meningkat," ucap Hardiono, Selasa lalu di
Jakarta, dalam konferensi pres mengenai kadar asupan DHA ARA yang tepat dan
stimulasi sejak dini untuk nilai IQ anak lebih baik.

Hardiono juga menjelaskan, DHA dan ARA sebenarnya terdapat secara
alami dalam air susu ibu (ASI). Konsultan anak bidang neurologi dari Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, itu menambahkan, dibandingkan dengan
susu formula yang diperkaya DHA dan ARA, kandungan kedua asam lemak yang
terdapat dalam ASI masih jauh lebih baik segi kualitas ataupun
kuantitasnya. Ini berbeda dengan ASI, kandungan DHA dan ARA secara
alami memiliki komposisi yang tepat bagi tumbuh-kembang bayi.

DHA dan ARA merupakan asam lemak yang sangat dibutuhkan bayi untuk
pembentukan otak, jaringan saraf, jaringan penglihatan, dan membantu
pembentukan sistem imun pada bayi. Melalui ASI, bayi akan mendapatkan
DHA dan ARA yang diperlukan sebagai komponen utama lemak membran sel dan
merupakan asam lemak tak jenuh dalam rantai panjang utama sistem
saraf pusat. DHA juga merupakan komponen utama membran sel fotoreseptor
retina.

Otak tumbuh maksimal sejak 3 bulan terakhir dari masa kehamilan
sampai kurang lebih usia 2 tahun. Karena itu, dalam periode tersebut, bayi
sebaiknya mendapat DHA dan ARA dalam jumlah cukup, yang tentunya
dapat diperoleh dari ASI. Agar mendapatkan kandungan DHA dan ARA yang
tinggi dalam ASI-nya, ibu hamil bisa mengkonsumsi makanan yang menjadi
sumber DHA, seperti ikan laut (contohnya salmon), minyak ikan, daging, dan
telur.

Dari suatu penelitian, Dr Craig Jensen dari Departemen Pediatrik pada
Baylor College of Medicine Houston, Texas, menyebutkan ibu-ibu di
setiap negara memiliki kandungan DHA dan ARA dalam ASI berbeda-beda.
Perbedaan ini lantaran asupan makanan yang dikonsumsi sehingga dapat
mempengaruhi kadar kedua komponen tersebut. Walau tak ada angka yang pasti, Craig
mengatakan DHA dan ARA yang terdapat dalam ASI wanita Indonesia tak
jauh berbeda dengan negara tetangga, seperti Malaysia, yaitu sekitar 0,4
atau 0,5 persen dari total asam lemak. "¨Ya, sekitar 0,4 atau 0,5 persen
dari total asam lemak. Tapi, meski jumlahnya sedikit, DHA dan ARA penting
dalam perkembangan intelektual dan daya penglihatan anak,¨ ujar Craig.

Dia melanjutkan, dari beberapa hasil studi memperlihatkan asupan DHA
dan ARA, baik bagi bayi prematur maupun bayi yang lahir normal,
bermanfaat untuk perkembangan fungsi penglihatan dan perkembangan saraf otak
pada bayi dan balita.

Selain itu, penelitian yang dilakukan Dr E. Birch menunjukkan, anak-
anak berusia 4 tahun yang mendapatkan asupan DHA dan ARA dengan kadar 0,36
persen DHA (90 miligram DHA/100 gram) dan 0,72 persen ARA (180
miligram ARA/100 gram) selama 4 bulan pertama memiliki tingkat IQ lebih tinggi
7 poin dibanding mereka yang tak mendapat asupan DHA dan ARA dalam
kadar tersebut. Di samping itu, studi lain menunjukkan bahwa skor IQ pada
anak usia 4 tahun berkorelasi kuat dengan skor IQ pada usia 17 tahun. "Hal
ini menunjukkan adanya stabilisasi dalam jangka waktu panjang dan
mengindikasikan nilai skor IQ yang kurang lebih sama tingginya pada
usia dewasa," Craig Jensen menjelaskan.

Namun, selain asupan DHA dan ARA dalam kadar yang tepat, Hardiono
mengingatkan perlunya stimulasi tepat yang diterapkan sejak dini
untuk melatih kecerdasan anak. Menurut Hardiono, kecerdasan anak sangat
dipengaruhi oleh rangsangan yang diterimanya pada tahun-tahun awal
kehidupannya, terutama dua tahun pertama yang sering disebut dengan
the golden years. Stimulasi yang tepat, baik jenis maupun frekuensinya,
akan melatih pancaindra anak dan akan mempengaruhi kecerdasan.

Nah, jangan sia-siakan masa keemasan anak Anda. Sebab, bila
terlambat, akan sulit memperbaikinya.
Marlina Marianna Siahaan

Sumber : Tempo

Perlukah Suplementasi AA/DHA dalam Susu Formula?
Ditulis Oleh Arifianto MD

Mohon maaf kalau tulisan ini jadinya seperti artikel semi ilmiah.
Hanya berusaha menyumbangkan sedikit informasi yang saya punya sebelum
meninggalkan Jakarta menuju lokasi tanpa koneksi internet sama sekali
(listrik dan telepon saja belum tahu ada/tidaknya) .
Maraknya iklan susu formula di mana-mana: TV, majalah, koran
mendorongku menelusuri lebih lanjut, perlukah suplementasi AA/DHA dalam susu
formula.
Tujuan tulisan ini adalah menekankan tidak ada yang mampu
menggantikan ASI dalam enam bulan pertama kehidupan bayi.
Susu formula dibuat dengan berusaha meniru semirip mungkin kandungan
yang ada dalam ASI, untuk memenuhi segala kebutuhan nutrisi bayi:
karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan air. Sebagian besar formula ini
diambil dari susu sapi, yang dinilai kandungannya hampir menyerupai
air susu manusia, dan mampu memenuhi kebutuhan gizi bayi. Sebagian kecil
adalah susu kedelai.

Ada satu kandungan dalam ASI yang tidak terdapat dalam susu formula
kebanyakan, yaitu AA/DHA. Berbagai penelitian menunjukkan bayi yang
mendapatkan ASI sampai usia satu tahun memiliki perkembangan otak
lebih baik dibandingkan bayi yang tidak mendapatkan ASI. Kandungan yang
menentukan ini adalah asam arakidonat (arachidonic acid/AA) dan asam
dokosaheksaenoat (docosahexaenoic acid/DHA), suatu asam lemak tak
jenuh
ganda rantai panjang (long chain polyunsaturated fatty acids/PUFA),
yang merupakan batu bata utama pembangun jaringan saraf di retina (saraf
mata) dan otak. Mengetahui hal ini, para peneliti biokimia berlomba-lomba
memasukkan AA dan DHA dalam kandungan susu formula, dan melihat
dampaknya apakah menyerupai keuntungan bayi yang mendapatkan ASI.Sebuah tulisan
dalam jurnal Nutrition Noteworthy tahun 2002 yang berjudul: "Finding
the Magic Formula: Should Polyunsaturated Fatty Acids be Used to
Supplement Infant Formula" yang ditulis Mailan Cao menjelaskan tiga hal utama
yang menjadi indikator utama outcome (keluaran) suplementasi AA/DHA ini,
mengingat tidak semua hal yang terbukti di laboratorium (in vitro)
atau hewan percobaan, lantas sama efeknya ketika diterapkan pada manusia.

1.. Suplementasi AA/DHA dan kadarnya dalam asam lemak plasma (darah)
Setelah dibuktikan aman untuk dikonsumsi tubuh manusia, peneliti
ingin membutikan apakah suplementasi AA/DHA dapat diserap tubuh sama halnya
kandungan dalam ASI, melihat bukti kadar AA/DHA dalam tubuh bayi yang
mendapatkan susu formula tanpa suplementasi AA/DHA lebih rendah
dibandingkan dengan yang mendapatkan ASI.Ternyata terbukti,
suplementasi AA/DHA meningkatkan kadarnya dalam plasma darah, membran sel darah
merah (eritrosit), dan jaringan korteks otak, dalam jumlah menyerupai yang
mendapatkan ASI. ARTINYA: suplementasi AA/DHA mampu diserap tubuh
dengan baik. NAMUN ini sama sekali tidak menunjukkan dampaknya dalam
perkembangan saraf otak dan ketajaman penglihatan.

1.. Suplementasi AA/DHA dan Pengaruhnya dalam (Fungsi) Ketajaman
Penglihatan

Sebuah penelitian 'meta-analisis' menunjukkan adanya peningkatan
fungsi penglihatan pada bayi yang mendapatkan susu formula dengan
suplementasi AA/DHA dibandingkan yang mendapatkan susu formula biasa, dengan
melihat indikator perilaku dan elektrofisiologi mata pada bayi berumur 2 dan
4 bulan. Beberapa penelitian terdahulu tidak menunjukkan adanya
perbedaan.

1.. Suplementasi AA/DHA dan Perkembangan Kecerdasan/Perilaku
Inilah KUNCI dari impian semua peneliti mengenai suplementasi AA/DHA:
mampukah menyamai dampaknya dalam meningkatkan kecerdasan bayi,
layaknya bayi yang mendapatkan ASI? Ternyata dari berbagai penelitian: belum
terbukti. Bayi yang mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan pertama
kehidupannya, dan diteruskan sampai usia 1 tahun, memiliki kecerdasan
lebih daripada yang mendapatkan susu formula dengan AA/DHA
sekalipun.Beberapa kendala juga menghadang model penelitian ini.
Antara lain jenis uji yang digunakan untuk mengukur tingkat kecerdasan
adalah: Bayley Mental Development Index (MDI) dan the Psychomotor
Developmental Index (PDI). Berbagai penelitian menunjukkan hasil berbeda-beda, ada
yang menggambarkan hasil signifikan pemberian suplementasi AA/DHA, dan
sebagian lain tidak ada bedanya. Belum lagi pengaruh sosioekonomi responden
yang mempengaruhi uji statistik. Kadar AA, DHA, dan asam lemak lain
semacam ALA dan LA juga bervariasi antar penelitian. Sampai perbedaan genetik dan
lingkungan di berbagai belahan dunia tempat penelitian dilakukan
(Amerika Utara, Australia, dan Eropa). Juga terkadang jumlah sampel terlalu
sedikit, umur bayi yang terlalu dini untuk dilakukan pengujian, dan
jangka waktu penelitian yang seharusnya cukup panjang, sehingga dapat
dilihat dampaknya hingga usia remaja dan dewasa.Pada akhirnya penelitian
mengenai dampak suplementasi AA/DHA masih terus dikembangkan, dan belum
berakhir.
Bagaimana dengan pemasarannya di negara kita? Berbagai iklan dan
informasi yang tidak jarang datang dari dokter spesialis anak sendiri seolah-
olah mengklaim perannya signifikan dalam meningkatkan kecerdasan bayi.Di
AS, Food and Drug Administration (FDA) atau serupa Badan POM-nya
Indonesia, memberikan ijin kepada dua perusahaan: Abbott Laboratories dan Mead
Johnson Nutritionals untuk mengedarkan susu formula dengan
suplementasi AA/DHA kepada khalayak sejak awal 2002. Harganya 15-20% persen lebih
mahal dibandingkan dengan susu formula tanpa suplementasi, dan ini pun
memberikan keuntungan kepada dua perusahaan tersebut untuk membiayai
penelitian mengenai AA/DHA.American Council on Science and Health
memiliki pandangan "the current data has not consistently shown that
supplementation of formulas with DHA and AA has a lasting beneficial
effect on infant development" juga hal lain seperti keamanan
menambahkan asam lemak dalam susu formula belum teruji. Pada akhirnya keputusan
berpulang pada tangan si konsumen. Apakah akan memberikan susu
formula dengan suplementasi AA/DHA atau tidak. Yang penting adalah memberikan
ASI Eksklusif selagi mampu. Sejak masa kehamilan, persiapkan diri sebaik
mungkin dengan pengetahuan menyusui bayi secara optimal. Menjelang
persalinan, jika Anda berencana melahirkan di Rumah Bersalin atau
Rumah Sakit, bukan di rumah, mintalah kamar rawat gabung. Anda bisa bersama
bayi Anda sejak lahir hingga saatnya pulang, tanpa dipisahkan sedikit pun
dari sisi sang ibu. Satu hal yang sangat sulit dilakukan di kota besar
seperti Jakarta. Begitu bayi lahir, segera dekatkan ke payudara ibu, untuk
early latch-on-menyusui dini-dengan teknik yang telah Anda ketahui baik.
Sehingga dipastikan kemampuan Ibu untuk menyusui bayinya penuh sangat
baik. Maka tidak ada alasan lagi: "ASI saya tidak keluar", dan harus
memberikan susu formula pada bayi.
Dukungan dari keluarga juga sangat penting. Tidak sedikit alasan ibu
memberikan susu formula pada bayinya yang mendapatkan ASI dengan baik
adalah: khawatir ASI tidak cukup. Pembahasan ASI sangat panjang,
tidak dalam bahasan ini.

Kecerdasan bayi tidak hanya monopoli ASI dengan AA/DHA-nya saja. Tapi
juga stimulasi eksternal, dari lingkungan, melalui rangsangan yang
diberikan Papa-Mamanya, dengan percakapan verbal, pengenalan media visual, dan
perhatian penuh orangtua terhadap perkembangan kecerdasan anak.
Apalah artinya anak dengan asupan AA/DHA baik, tapi tidak pernah dirangsang
kemampuan verbal dan visual oleh orangtuanya. Bisa jadi akan lebih
buruk dibandingkan dengan anak yang tidak pernah mendapatkan ASI atau susu
formula, tetapi ibunya mampu memberikan perhatian penuh terhadap
stimulasi kecerdasan buah hatinya.

Sumber : http://arifianto. blogspot. com

Pengaruh Negatif Susu AA dan DHA

Tingkat konsumsi Docosahexanoic Acid (DHA) yang berlebihan akan
membahayakan metabolisme tubuh. Sebab tubuh terpaksa dibebani
pekerjaan yang lebih berat untuk mengeluarkan asam lemak esensial tersebut.
Spesialis penyakit anak Dr. Utami Roesli MBA, mengutip hasil
penelitian yang dilaksanakan di Australia, Amerika Serikat maupun Eropa, bahwa
di tiga kawasan negara maju ini, belum dihasilkan efektifitas dari
penambahan DHA dalam produk susu maupun makanan bayi dan anak anak termasuk
untuk ibu hamil. "Jadi belum ada anjuran untuk menambahkan unsur asam linoleat
dan asam linolenat itu ke dalam susu", ujarnya kepada Media, kemarin di
Jakarta.
Lebih jauh ditegaskan, seperti juga lemak susu sapi, maka asupan DHA
tersebut bukan merupakan ikatan rantai panjang, sehingga masih sulit
diserap oleh pencernaan bayi. Terlebih lagi, katanya, karena susu
yang akan dikonsumsi ini harus dibuat dengan menggunakan air panas hingga
mengalami proses pemanasan. Akibatnya, aktifitas enzim desaturase dan
elongase yang memfasilitasi pembentukan DHA dalam tubuh secara
otomatis
hancur. Karena itu, Utami, sebagai pakar air susu ibu (ASI)
mengingatkan kepada masyarakat, khususnya kaum ibu, supaya jangan terpengaruh
terhadap iklan susu dan makanan pendamping ASI yang mengandung DHA dengan
iming-iming mampu meningkatkan kecerdasan bayi. "Asam lemak esensial
tersebut justru cukup terkandung dalam ASI, bahkan unsur DHA nya
tergolong ikatan rantai panjang yang sangat mudah diserap pencernaan bayi",
ujarnya. Karena itu dia menganjurkan agar bayi diberikan ASI sejak lahir
sampai umur 4 bulan, karena asam lemak ASI juga terdiri dari asam
arakidonat. "Berarti, kandungannya melebihi unsur asam linoleat dan asam
linolenat". Setelah empat bulan, katanya, bayi dapat di berikan tempe yang
mengandung pula asam linoleat maupun asam linolenat karena lemaknya termasuk
ikatan rantai panjang.
Utami menjelaskan, setelah mencapai umur enam bulan, bayi juga dapat
diberikan ikan laut, yang secara alami mengandung pula kedua asam
lemak itu tanpa harus mengonsumsi susu formula.
Menyesatkan Ketua Lembaga Peningkatan Penggunaan ASI Rumah Sakit Saint Carolus
ini mengakui, semboyan "Empat Sehat Lima Sempurna" yang berlaku sejak
dulu dinilai telah menyesatkan masyarakat. "Orang beranggapan konsumsi
makanan sehari hari belum sempurna jika tidak minum susu. Susu bukan berarti
tidak penting, namun bukan segala galanya", tegasnya lagi. Dia bahkan
melihat iklan susu maupun makanan bayi dan anak anak yang diimplementasi
dengan DHA cenderung menyesatkan masyarakat, karena produsen memanfaatkan
kebodohan konsumen yang tak memahami manfaat sesungguhnya dari unsur
tambahan tersebut.
Sementara, kalangan spesialis gizi di Indonesia umumnya menyatakan
masih awam terhadap kandungan DHA dalam susu. Karena sampai sejauh ini,
belum pernah dilakukan penelitian tentang manfaatnya.
Dokter Soebagyo Sumodihardjo MSc, pakar gizi dari bagian Ilmu Gizi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, mengungkapkan pihaknya
baru mengetahui hal itu dari media massa. Ketika ditemui Media usai
pembukaan lokakarya "Pemerataan serta Peningkatan Pemanfaatan Lulusan
Pendidikan Tenaga Kesehatan di Sektor Non Departemen Kesehatan dan
Kesejahteraaan Sosial" kemarin di Jakarta, dia belum bersedia dimintai komentarnya.
"Saya baru mengkliping dan belum membaca literatur", ujarnya. Dia berjanji
memberitahukan hal tersebut seminggu kemudian setelah segala
informasi dikumpulkan dari berbagai sumber.
Spesialis Anak Dr. Sri S. Nasar sebelumnya menginformasikan bahwa
overdosis DHA pada manusia, sejauh ini baru terlihat dialami orang
Eskimo yang banyak mengkonsumsi ikan laut. Dikatakan bahwa gejalanya berupa
perdarahan, mirip flek flek berwarna kebiruan di kulit. "Efek yang
lain baru ditemukan pada monyet maupun tikus, tapi gejalanya berbeda".
[sumber: Harian MEDIA INDONESIA, Jum'at 22 September 2000]

Waspadai Promosi Susu Formula

Dewasa ini makin banyak pilihan produk dan merek susu formula untuk
bayi berusia di bawah enam bulan. Meski begitu, sebaiknya orangtua yang
memiliki bayi pada usia tersebut harus ekstra hati-hati saat hendak
memutuskan memilih susu formula.

Sudah sangat sering diulas oleh dokter anak maupun ahli gizi anak
bahwa satu-satunya makanan terbaik untuk bayi berusia 0 hingga 6 bulan
adalah air susu ibu (ASI). Bahkan para ahli sangat menyarankan agar para ibu
memberikan ASI eksklusif atau tak memberi asupan makanan apa pun
kepada bayi kecuali ASI selama enam bulan pertama sejak bayi lahir.

"Sayangnya, pemberian ASI eksklusif ini belum jadi gaya hidup
keluarga di berbagai lapisan masyarakat. Padahal, menyusui merupakan cara terbaik
dan paling ideal dalam pemberian makanan bayi baru lahir dan bagian tak
terpisahkan dari proses reproduksi," kata Ketua Ikatan Dokter Anak
Indonesia DKI Jakarta (IDAI Jaya) dr Badriul Hegar SpA (K) (Kompas, 1
April 2006).

Ada berbagai macam alasan yang dikemukakan para ibu untuk tidak
memberikan ASI eksklusif, misalnya karena sang ibu bekerja sehingga tidak sempat
menyusui bayi secara teratur. "Saya sengaja memberi susu formula
sejak awal, karena nanti setelah cuti hamilnya habis kan saya enggak bisa
memberi ASI secara teratur lagi," ujar Dewi (31), pialang saham, yang
baru saja melahirkan anak pertamanya sebulan lalu.

Belum terbiasanya masyarakat memberikan ASI eksklusif kepada bayi ini
menjadi celah pemasaran yang bisa dimanfaatkan produsen susu formula.
Selain itu, para produsen juga memberi iming-iming berbagai vitamin
dan zat gizi tambahan ke dalam produk mereka, seperti DHA dan AA, yang
sering diklaim dapat membantu perkembangan otak bayi.

Ada dalam ASI

Menurut dr IG Ayu Pratiwi Surjadi SpA,MARS, anggota Satuan Tugas ASI
IDAI Jaya, DHA (docosahexaenoic acid) dan AA (arachidonic acid/asam
arakidonat) memang sangat dibutuhkan bayi, khususnya dalam dua tahun pertama
perkembangannya. "Otak manusia sebenarnya sudah terbentuk 90 persen
saat lahir. Setelah kelahiran kemudian terjadi mielinisasi dan
sinaptogenesis dalam otak," papar dokter yang akrab dipanggil Tiwi ini.

Proses mielinisasi adalah pembentukan selaput mielin atau selimut
serabut saraf yang membutuhkan laktosa atau zat gula dari susu. Sementara
proses sinaptogenesis adalah proses pembentukan susunan sistem saraf pusat
yang membutuhkan DHA dan AA.

"Namun, zat-zat tersebut baru aktif bila ada enzim yang menyertai.
Laktosa baru aktif dalam proses mielinisasi jika ada enzim laktase yang
menyertai, sementara DHA/AA baru aktif dalam sinaptogenesis saat ada enzim
lipase karena DHA/AA pada dasarnya adalah asam lemak," ungkap Tiwi.

Tiwi menambahkan, baik laktosa maupun DHA/AA hanya hadir lengkap
dengan enzim-enzimnya dalam ASI. "Susu formula jenis apa pun, semahal apa
pun, meski dibuat semirip mungkin dengan ASI, tetap saja tak ada enzimnya.
Jadi, satu-satunya nutrisi terbaik untuk bayi memang hanya ASI,"
katanya.

Tiwi menambahkan, akibat gencarnya promosi susu formula, banyak
anggota masyarakat yang mengira DHA/AA tak terkandung dalam ASI. "Jadi,
tolong tekankan DHA/AA yang terbaik itu justru ada di dalam ASI. Komponen
apa pun yang dipromosikan ada di dalam susu formula, semuanya sudah ada di
ASI," kata Tiwi.

Mitos dan promosi

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Husna Zahir juga
mengatakan, pihaknya sama sekali tidak merekomendasikan pemberian
susu formula kepada bayi.

"Susu formula hanya diberikan dalam kondisi-kondisi tertentu yang
sangat darurat. Di luar itu, pemakaian susu formula hanya pemborosan
belaka," tandasnya.

Husna juga mengungkapkan adanya mitos bahwa bayi sehat adalah bayi
yang gemuk. Sementara bayi yang diberi ASI eksklusif memang cenderung
tidak menjadi gemuk. "Mereka kemudian menambahkan susu formula agar bayinya
gemuk. Padahal, bayi sehat tidak harus gemuk. Itu cuma mitos," ujar
Husna.

Husna mengingatkan, kondisi bayi baru lahir masih sangat rentan
sehingga harus ekstra hati-hati saat memberi zat makanan dari luar.

"Klaim-klaim dari produsen bahwa susu formulanya dapat memberi
berbagai dampak positif bagi bayi perlu dipertanyakan lebih lanjut. Misalnya,
informasi dosis atau jumlah yang tepat supaya dampak tersebut akan
terjadi. Selama ini banyak orang merasa aman apabila sudah
mengonsumsi susu tersebut karena termakan promosi," tambah Husna.

Di atas semuanya, ia juga menyarankan agar masyarakat waspada
terhadap penawaran-penawaran susu formula di tempat-tempat pelayanan
kesehatan. "Sekarang ini banyak rumah bersalin yang menawarkan susu formula
kepada orangtua bayi yang baru lahir. Itu sebenarnya melanggar kode etik,"
katanya.

Kode etik yang dimaksud Husna adalah Kode Internasional Pemasaran
Produk Pengganti ASI (International Code of Marketing of Breast-milk
Substitutes) yang dikeluarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1981 lalu.

"Pemasaran produk susu formula untuk bayi berusia di bawah enam bulan
seharusnya diatur secara tegas. Kalau perlu ada pelarangan promosi
susu formula di tempat-tempat pelayanan medis resmi," ujarnya tegas.

Sumber: Kompas

Arsip milis sehat

Di dunia ini, apalagi di dunia media informasi - termasuk milis -
tidak ada yang benar-benar bebas nilai. Semua memiliki tujuan, memiliki target,
termasuk memiliki "iklan". Begitu juga, tidak semua hal bisa kita
pandang sebagai hitam-putih. Artinya, iklan itu baik atau buruk, itu
dipengaruhi juga oleh cara pandang kita.

Ad Epx Med Biol jurnal tahun 2001 menuyusun review, bahwa memang bayi
dengan ASI menunjukkan perkembangan syaraf lebih baik daripada bayi dengan
susu formula. Satu parameter yang utama adakah adanya Long-chain PUFA pada
ASI yang tidak didapatkan pada susu formula, sehingga zat ini yang
dianggap berpengaruh signifikan. Ini didukung pula oleh Jurnal Family Health
Care tahun 2002.

Jurnal Lipids 2001 melaporkan, penambahan DHA dan AA pada susu formula
standar meningkatkan proporsi antigen yang mature (matang),
memperbaiki produksi IL-10 dan mengurnagi produksi IL-2 (semua ini bersifat
memperkuat sistem imun) sampai pada tingkatan yang tidak berbeda signifikan
dengan yang dicapai pada bayi-bayi dengan ASI.

Jurnal Ann N Y Acad Sci June 2002 melaorkan, pemberian supplementasi
DHA dan AA berpengaruh positif terhadap kemampuan penglihatan sampai usia 1
tahun segra fungsi-fungsi kognifif syaraf. Penelitian ini pada bayi prematur
ataupun yg matur. Ini didukung Eur J Clin Nutr 2003 yang melaporkan
khususnya pada bayi prematur.

Memang, kita sulit mendapatkan hasil penelitian di bidang ini yang
bersifat randomized double-blind placebo-controll karena hambatan etik. Tidak
mungkin kita meminta subyek penelitian untuk menentukan jenis susu apa yg
diminum, ataupun memberikan placebo secara random. Begitu juga, penelitian
hanya bisa terbatas pada jangka pendek, perlu waktu lama untuk menentukan apakah
riwayat minum ASI dan susu formula membedakan tingkat IQ (apalagi EQ
dan SQ) setelah 30 tahun kemudian misalnya.

Yang jelas, hasil-hasil penelitian tersebut mendorong usaha untuk
membuat susu formula yang makin mendekati struktur dan fungsi ASI. Caranya
dengan ditambahkan beberapa komponen : long-chain polyunsaturated fatty acids
(LCPUFA) untuk komposisi otak dan perkembangan syaraf (seperti
disoroti dalam artikel dimaksud), pro- dan prebiotik untuk flora normal dan
pertahanan lokal di saluran pencernaan, serta nukleotida untuk memacu
respon imun. Dilakukan juga perubahan kuantitas dan kualitas protein untuk
mendekati pola keseimbangan asam amino darah sehingga cocok untuk
perkembangan otak dan fungsi neurotransmitter tahap dini, mencegah
asupan protein berlebih yang bisa menimbulkan obesitas, serta menggunakan
protein terhidrolisa untuk mencegah gangguan atopik (Minerva Pediatric Jurnal
Juni 2003).

Yang ingin saya tekankan, para pembicara itu tidak salah, mereka
bicara berdasarkan data, berdasarkan penelitian. Kita tidak selayaknya
tergesa-gesa menilai mereka sebagai "disusupi" iklan.

Membaca artikel tersebut, kita seperti melihat sebuah gelas berisi air
setengahnya. Kita bisa katakan "setengah kosong" bisa juga "setengah
isi" tergantung darimana kita memandangnya. Tidak selayaknya kita tergesa-
gesa melakukan judgement. Sebagai SP kita harus mampu berpikir
komprehensif, bukan hitam-putih.

Penambahan suplemen dalam susu formula tersebut ditujukan pada bayi
dari Ibu yang oleh karena suatu hal tidak mampu memberikan ASI ekslusif sampai
6 bulan. Susu formula tidak pernah ditargetkan untuk mampu menyamai ASI,
targetnya hanya sebisa mungkin mendekatinya.

Artinya, kita harus memahami artikel tersebut dengan lengkap. Semua
penelitian yang saya kutip diatas selalu diakhiri dengan penekanan
bahwa :

1. ASI tidak ada tandingannya. ASI adalah pilihan satu-satunya untuk
masa menyusui ekslusif. Hal ini tidak ada penelitian yang menentangnya.
2. Pemberian susu formula dengan suplementasi DHA dan AA adalah
sebagai substitusi BILA memang Ibu tidak dapat memberikan ASInya oleh suatu
hal (*).
Usaha maksimal harus dilakukan agar Ibu dapat memberikan ASI-nya.
3. Suplementasi terhadap susu formula tidak pernah dimaksudkan untuk
bisa menyamai ASI, hanya berusaha menirunya bila memang terpaksa harus
diberikan sebagai pengganti ASI.
4. Supplementasi terhadap susu formula tidak pernah bisa memenuhi
keuntungan-keuntung an lain dalam pemberian ASI (terutama keuntungan
non-fisik/hubungan psikologis) yang juga berperan besar terhadap
perkembangan anak (**).

Tanda (*) dan (**) ini saya berikan untuk menunjukkan, bidang inilah
yang menjadi salah satu "iklan" penting dari milis ini (semoga saya tidak
salah menangkap nuansa ini). Tidak dapat memberikan ASI sebabnya bisa banyak
tetapi yang paling sulit diatasi adalah : kesadaran Ibu sendiri. Untuk
itulah giat dilakukan kampanye untuk menyadarkan para Ibu agar bisa
memenuhi ASI ekslusif, agar tidak patah semangat, agar tidak khawatir anaknya
kurang gizi, agar Ibu ASI ekslusif diterima oleh lingkungan keluarga dan
lingkungan kerjanya, agar suami dan keluarga mendukung, terutama agar yakin
bahwa SEMUA ibu pasti mampu melakukan ASI ekslusif .... Semua itu bertujuan baik.

Apakah lantas kita mau kalau ada yang menganggap kita telah "menutupi
fakta" bahwa memang ada saja Ibu yang benar-benar tidak atau sangat sedikit
memproduksi ASI atau oleh karena suatu hal tidak dapat memberikannya
(for whatever the reason is) ? Bukankah memberi susu formula juga tidak
berarti "ibu itu tidak cinta pada anaknya" ? Mau kalau kita dianggap
"disusupi" iklan sehingga menutupi fakta itu ?

Tentu saja tidak demikian. Kita kampanyekan ASI ekslusif dengan
kencang, karena itulah "iklan" kita. Iklan itu baik karena didasari kepentingan
sebagian terbesar masyarakat, mewakili manfaat yang jauh lebih besar
daripada kerugiannya. Bahwa ada satu dua yang tidak sesuai, satu dua
yang "meleset", itulah kenyataan, tidak ada yang sempurna.

Hal ini juga saya tekankan untuk menunjukkan tidak selamanya "iklan"
itu buruk. Kita yang harus mampu memilah dan memilih agar mengerti dan
menangkap yang positif dari iklan itu. Menjadi pembicara di suatu forum oleh
dukungan suatu sponsor, tidak serta merta menjadikan pembicara itu harus
dianggap "disusupi" iklan. Dalam forum seperti itulah, seorang "ilmuwan" diuji
TIDAK sekedar keilmuannya tetapi rasa kemanusiaannya agar mampu memetakan
pengatahuannya pada tempat yang pas untuk kepentingan sebagian
terbesar masyarakat.

Bagaimana dengan klaim bahwa "tidak selamanya makanan bisa memenuhi
kebutuhan DHA" ? Memang benar ! Benar kalau kita tidak tahu apa
piramida makanan, tidak tahu caranya membuat balita kita mendapatkan makanan
sehat, tidak tahu bagaimana memaknai ungkapan "empat sehat lima sempurna",
tidak tahu bahwa "susu adalah pelengkap, tetapi bukan segalanya". Itu pula
"iklan" lain yang tidak kalah penting dari milis ini. Bahwa ada saja satu dua
anak dengan gangguan saluran cerna, sehingga memerlukan treatment diet
khusus, sekali lagi, itulah kenyataan, tidak ada yang sempurna.

Bagaimana dengan informasi "DHA dan AA malah bisa merugikan". Di
dunia ini, semuanya sebenarnya berguna, asal dalam takaran yang pas. Masalah
utama yang dihadapi dalam menyusun susu formula yang mendekati komposisi ASI
adalah menentukan konsentrasi ini.

Kadar DHA dan AA dalam ASI sangat dipengaruhi oleh asupan diet dan
kondisi metabolisme tubuh Ibunya. Artinya apa ? Kadar itu berubah-ubah setiap
waktu. Berarti yang diterima anak juga berubah-ubah. Apalagi antara Ibu satu
dengan Ibu yg lain, berarti bayi satu tidak sama dengan bayi lain. Tentu
masih ingat kan penjelasan Ahli Laktasi betapa "ASI itu bisa berubah-ubah
setiap jam-nya" ?

Hal ini menyulitkan menyusun patokan seberapa kadar suplementasi DHA
dan AA ke dalam susu formula. Patokan yang dipakai sekarang didasarkan pada
penelitian sekian ribu sampel Ibu-ibu menyusui yang sehat badannya.
Namun betapapun, tetap saja variasi akan ada, padahal tidak mungkin membuat
susu formula dengan sekian banyak variasi kadar suplementasi DHA dan AA.

Bagaimana soal informasi "DHA dan AA buatan itu malah bikin anak
hiperaktif"? Saya tidak memiliki data pasti karena kalau informasi yang saya
dapat tidak menunjukkan hubungan.

Jurnal of Pediatry Agustus 2001, kemudian Lipids jurnal Oktober 2003
serta Eur Jurnal of Clinical Nutrition Maret 2004, tidak mendapatkan hasil
signifikan dari suplementasi DHA terhadap anak-anak dengan
attention-deficit/ hyperactivity disorder. Artinya, tidak ada
perbaikan nyata dibandingkan anak-anak yang tidak mendapatkan suplementasi.

Justru catatan yang beberapa kali dilontarkan adalah hubungannya
dengan risiko perdarahan. Dalam tubuh manusia, asam lemak tak jenuh -
termasuk DHA dan AA - bersifat bi-fasic, bisa bersifat anti bisa juga bersifat
pro-oxidant. Ada uraian biokimiawi cukup rumit dalam hal ini, tetapi
intinya berpengaruh terhadap keseimbangan trombosit darah. Tubuh memiliki
mekanisme keseimbangan agar darah tidak mudah membeku di dalam tubuh tapi di
sisi lain segera berhenti bila terjadi perdarahan. Trombosit adalah salah satu
yang berperan di dalamnya, dan ini menjadi perhatian penting dalam
menetapkan kadar suplementasi DHA dan AA.

Wah sudah panjang sekali ya ?

Saya ingin sekali menekankan, jangan kita tergesa-gesa menganggap
pihak lain sebagai salah, disusupi iklan, bias dan sejenisnya. Kita yang harus
lebih mampu memilih dan memilah informasi. Dengan cara ini, kita tidak mudah
goyah, tidak mudah resah, sekaligus lebih mudah menjalin komunikasi
personal yang sehat. Ketergesa-gesaan untuk menilai, hanya akan menghambat kita
menyebarkan "iklan" positif yang ingin kita bagikan.

Salam ASI !

Tidak ada komentar: