Senin, 07 April 2008

Susu Formula: Polemik yang Membuat Panik

Susu formula memang tak bisa dipisahkan dari bayi dan anak. Bahkan anak yang lebih besar pun masih meminumnya. Dilematis memang. Di satu sisi susu formula diperlukan untuk mengoptimalkan tumbuh kembang anak, namun di lain pihak ancaman infeksi bakteri Enterobacter sakazakii (E. sakazakii) seakan menjadi mimpi buruk bagi setiap anak yang mengkonsumsinya.

Akibat yang ditimbulkan oleh infeksi E. sakazakii juga tidak main-main. Mulai dari ancaman enteritis, sepsis, sampai meningitis. Menurut penelitian yang dipublikasikan pada tahun 2006, tingkat kematian akibat infeksi E. sakazakii mencapai 33-80%. Sementara 94% anak yang survive dari meningitis akibat infeksi E. sakazakii mengalami kerusakan neurologis yang irreversibel.

Perkara bakteri E. sakazakii terus bergulir. Dalam situs resmi IPB tertanggal 15 Februari yang lalu disebutkan sebanyak 22,73% susu formula (dari 22 sampel) dan 40% makanan bayi (dari 15 sampel) telah terkontaminasi E. sakazakii. Salah satu penelitinya adalah DR. drh. Sri Estuningsih, M.Si yang merupakan satu-satunya kontributor ahli dari Indonesia dalam pertemuan para ahli tentang E. sakazakii yang diselenggarakan oleh WHO (Badan Kesehatan Dunia) dan FAO (Badan Pangan Dunia).

Mungkin yang terlintas di benak Anda kemudian, apa sebenarnya E. sakazakii ini? Mengapa baru sekarang ramai dibicarakan di Indonesia? Jangan salah sangka dulu. Di luar negeri telah banyak dilakukan penelitian terhadap E. sakazakii . E. sakazakii ditemukan pertama kali pada kasus meningitis neonatus tahun 1958, ketika kejadian di Inggris tersebut menyebabkan 2 bayi meninggal. Sejak saat itu, sekitar 70 kasus infeksi bakteri E. sakazakii telah dilaporkan. Walaupun angka insiden infeksi E. sakazakii terbilang rendah, namun progonsis penyakit yang ditimbulkannya sangat buruk dan angka kematiannya tinggi.

E. sakazakii dapat menginfeksi segala usia, namun diketahui bahwa bayi berusia kurang dari satu tahun memiliki resiko terbesar. Di antaranya yang paling beresiko terinfeksi E. sakazakii adalah neonatus (usia 28 hari pertama), bayi prematur, bayi dengan berat lahir rendah, bayi dengan sistem kekebalan tubuh rendah, dan bayi dari ibu positif HIV.

Menurut WHO, ada tiga kemungkinan susu formula terkontaminasi E. sakazakii, yakni melalui bahan baku yang digunakan dalam proses produksi, melalui kontaminasi bahan lain yang ditambahkan setelah pasteurisasi, dan melalui kontaminasi saat penyiapan susu formula untuk diberikan ke bayi. E. sakazakii diketahui terdapat dalam jenis makanan yang lain, namun hanya susu formula yang terkait dengan kejadian penyakit.

Klimaks dari polemik ini dicapai ketika BPOM mengumumkan hasil penelitiannya terhadap 96 sampel susu formula yang beredar di Indonesia. Keseluruhan hasilnya negatif, artinya tidak ada E. sakazakii dalam susu formula tersebut. Langkah ini diambil BPOM untuk menanggapi hasil temuan peneliti IPB yang dianggap telah menimbulkan keresahan publik.

Terlepas dari hasil investigasi BPOM yang membuat publik dapat bernapas lega, diperlukan komitmen dari semua pihak untuk menghadapi ancaman kontaminasi susu formula ini. Industri selaku produsen susu formula dituntut untuk membuat produknya sehigienis mungkin dengan berpedoman pada c GMP (current Good Manufacturing Practice) . Perlu adanya audit internal dan eksternal untuk menjamin keamanan produk.

Kontinuitas dalam pengawasan mutu adalah kata kuncinya, karena kontaminasi susu selama proses produksi sangat mungkin terjadi. Faktanya di luar negeri banyak produk susu dan makanan bayi yang ditarik dari peredaran karena terbukti adanya kontaminasi. Bahkan ada produsen susu formula yang berulang kali memasarkan produk terkontaminasi. Itu baru kejadian di luar negeri yang notabene lebih mutakhir dalam pembuatan produk. Tentunya berbeda jauh dengan kondisi di Indonesia. Belum lagi dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa E. sakazakii mampu bertahan dalam proses spray drying . Adalah pekerjaan rumah bagi industri dan pihak pengawas industri untuk menjawab tantangan ini.

Pemerintah pun berperan penting. BPOM selaku badan pengawas semua jenis produk obat dan makanan yang beredar di Indonesia hendaknya melakukan pengawasan terus-menerus terhadap susu formula dan makanan bayi. Jika sekiranya benar telah terjadi kontaminasi, publik dapat diberikan edukasi terstruktur agar tidak timbul kepanikan massal seperti yang terjadi dalam kasus E. sakazakii ini.

Publik selaku konsumen juga harus bertindak preventif. Perlu diingat bahwa ASI adalah makanan terbaik bagi bayi. Usahakan memberi ASI eksklusif selama 6 bulan sejak kelahiran karena bulan pertama hidup bayi adalah masa paling rentan terinfeksi E. sakazakii.

Mungkin untuk saat ini publik boleh sementara berlega hati karena BPOM telah mengumumkan bahwa 96 sampel susu formula yang beredar bebas dari E. sakazakii. Sayangnya, BPOM belum terbuka kepada publik. BPOM menolak mengumumkan secara terbuka merek susu formula apa saja yang telah terkontaminasi E. sakazakii.

Namun hal ini tidak mungkin berlangsung selamanya. Kemungkinan kontaminasi masih tetap ada. Entah oleh E. sakazakii atau oleh strain bakteri baru yang akan ditemukan nantinya. Belajar dari pengalaman, mungkin terbaik yang dapat kita semua lakukan.

Tidak ada komentar: